Faktariau.id, NASIONAL – Tragedi perundungan (bullying) yang menimpa seorang siswa di SMPN 19 Ciater, Serpong, Tangerang Selatan, telah berakhir menyedihkan. Korban meninggal dunia setelah sempat dirawat selama sepekan. Peristiwa ini kembali menegaskan bahwa fenomena perundungan masih menjadi isu krusial. Perundungan, baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat, menuntut perhatian dan tindakan kolektif yang serius.
Pengamat sosial, Serian Wijatno, menilai bahwa pendekatan yang sporadis tidak lagi memadai. Masalah ini menyebabkan gangguan psikologis berat. Dampaknya mulai dari minder, depresi, hingga risiko bunuh diri. Oleh karena itu, diperlukan langkah yang terstruktur.
Serian Wijatno merekomendasikan penerapan strategi komprehensif, terstruktur, dan berkelanjutan. Strategi ini harus melibatkan seluruh ekosistem. Pihak yang terlibat meliputi siswa, guru, orang tua, manajemen sekolah, dan masyarakat luas. Strategi ini, menurutnya, harus berpegangan pada tiga pilar utama: Pencegahan, Intervensi, dan Pembangunan Budaya. Inilah inti dari Strategi Anti Bullying yang efektif.
Pilar Utama Anti-Bullying: Pencegahan dan Intervensi
Pilar pertama, Pencegahan, merupakan langkah utama yang memerlukan investasi serius. Investasi tersebut meliputi program pendidikan sosial dan keterampilan emosional.
Sekolah diwajibkan mengadakan workshop wajib secara rutin bagi seluruh siswa. Materi workshop mencakup definisi berbagai jenis bullying (fisik, verbal, siber) dan dampak psikologisnya. Selain itu, perlu ada penekanan pada peran bystander aktif. Bystander aktif adalah individu yang berani melapor atau menolong korban. Sekolah harus memiliki kode etik yang tegas dan sanksi yang konsisten tanpa pilih kasih. Langkah ini sangat penting untuk menekan Kasus Perundungan Sekolah.
Pilar kedua adalah Intervensi. Pilar ini menuntut respons cepat dan adil saat perundungan terjadi. Kunci utama dalam intervensi adalah menyediakan jalur pelaporan yang aman. Jalur pelaporan harus anonim dan rahasia. Tujuannya adalah mendorong korban atau saksi berani bersuara tanpa takut pembalasan. Selain itu, layanan konseling terpadu perlu disediakan sebagai dukungan psikologis intensif. Layanan ini bukan hanya untuk korban, tetapi juga untuk pelaku perundungan. Konseling bertujuan mengidentifikasi dan menangani akar masalah perilaku mereka.
Pilar Ketiga: Transformasi Budaya
Pilar ketiga, Pembangunan Budaya, berfokus pada upaya menjadikan semangat anti-bullying sebagai bagian integral dari karakter masyarakat. Budaya ini juga harus menjadi bagian dari lingkungan sekolah. Serian Wijatno menekankan pentingnya menyuarakan risiko bullying secara teratur. Perlu juga gencar mempromosikan iklim persahabatan serta rasa memiliki dalam komunitas. Transformasi budaya ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan belajar dan sosial yang benar-benar aman dan inklusif bagi semua pihak. Mengatasi Kasus Perundungan Sekolah memerlukan kesadaran kolektif yang kuat. Strategi Anti Bullying tiga pilar ini diharapkan dapat menjadi solusi berkelanjutan.
(*Drw)













